*** *** ASSALAMUALAIKUM.WR.WB *** *** SELAMAT DATANG SAYA SAMPAIKAN KEPADA PENGUNJUNG BLOG SAYA *** *** HENNY WAHYUNI NAIBAHO *** ***

Kamis, 27 Mei 2010

HORE JAM BARU

Sekarang kt mho nmbahin jam pd blog kt...............................
hmmmmm..........................psti_@ blum tau doonk.py untung_@ pak suy yg baik hti mho ajrin Q?
heheheheh....................nie dy cra2 yg d ajrin oleh pak suy.

cara mnambh jam pd blog
1.kta hrs login dlu/sign in/masuk
2.truz tata ltak
3.klick + gadged_2(bilah sisi)
4. lalu + HTML/javasript
5.judul jm berapa?lalu content
6.buka situs_@ yaitu: CLOCKLINK.COM

TLISAN BERJALAN

nie dalah cra dri pak suy............................pak suy ajarin kmi wat tulisn brjln pd blog kmi.......................owh .............seru bgd .py lucu jg sich hehehehe...................hern jg mang bsa grak2 y?????????nah nie dy cara_@ dri pak suy..

CARA MENAMBAH TULISAN BERJALAN DI BAWAH BAR
1.login/sign in/masuk
2.tata letak
3.klik + gadged -1
4.klik + HTML/javasript
5.pd kolom ketik


SELAMAT MENCOBA YACH???????????????????????

Senin, 24 Mei 2010

Belajar Menghargai Orang Lain :)

Jump to Comments

Minggu siang di sebuah mal. Seorang bocah lelaki berumur delapan tahun berjalan menuju ke sebuah gerai penjual es krim. Karena pendek, ia terpaksa memanjat untuk bisa “melihat” si pramusaji. Penampilannya yang lusuh sangat kontras dengan suasana ingar-bingar mal yang serba wangi dan indah.
“Mbak, sundae cream harganya berapa?” si bocah bertanya.
“Lima ribu rupiah,” yang ditanya menjawab.
Bocah itu kemudian merogoh recehan duit dari kantungnya. Ia menghitung recehan di telapak tangan dengan teliti. Sementara si pramusaji menunggu dengan raut muka tidak sabar. Maklum. banyak pembeli yang lebih “berduit” mengantri di belakang pembeli ingusan tersebut.
“Kalau plain cream berapa?”
Dengan suara ketus setengah melecehkan, si pramusaji menjawab, “Tiga ribu lima ratus.”
Lagi-lagi si bocah menghitung recehannya, “Kalau begitu saya mau sepiring plain cream saja, Mbak.” kata si bocah sambil memberikan uang sejumlah harga es yang diminta. Si pramusaji pun segera mengangsurkan sepiring plain cream.
Beberapa waktu kemudian, si pramugari membersihkan meja dan piring kotor yang sudah ditinggalkan para pembeli. Ketika mengangkat piring es krim bekas dipakai bocah itu, ia terperanjat. Di meja itu terlihat dua keping logam lima ratusan serta lima keping recehan seratusan yang tersusun rapi. Ada rasa penyesalan tersumbat di kerongkongan. Sang pramusaji tersadar, sebenarnya bocah tadi bisa membeli sundae cream. Namun, ia mengorbankan keinginan pribadi dengan maksud agar bisa memberikan tip bagi si pramusaji.
Pesan moral yang dibawa oleh anak tadi; setiap manusia di dunia ini adalah penting. Di mana pun kita wajib memperlakukan orang lain dengan sopan, bermartabat, dan penuh hormat.

Dikutip dari Intisari Mei 2002

CINTA HAKIKI

(bagian kedua)

…………………

Allah Maha Pengasih
Allah Maha Pengampun
Cintai ilahi cinta yang hakik
Subhanallah…………………
["Kembali" by Raihan]

ila kita telah memahami makna tulisan sebelumnya (pada edisi sebelumnya-red.), maka kita tak akan merasa asing dengan sepenggal syair nasyid di atas. Kita tak akan bertanya-tanya lagi tentang apa yang dimaksud dengan cinta yang hakiki. Di dalam pikiran kita mungkin langsung teringat dengan salah satu firman-Nya di dalam QS At Taubah : 24, yang artinya kurang lebih demikian:

"Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, sanak keluarga, harta yang telah kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya dan tempat-tempat tinggal yang kamu sukai, itu semua lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya serta melaksanakan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan urusan-Nya (azab-Nya). Dan Allah sekali-kali tidak akan menunjuki orang-orang yang fasik."

Dalam ayat tersebut jelas bahwa manajemen cinta menurut Islam. Skala prioritasnya sangat jelas. Skala yang pertama adalah cinta pada Allah (mahabbatullah), selanjutnya cinta pada rasul (mahabbaturrasul), kemudian diikuti cinta pada jihad (mahabbatujjihad), setelah itu barulah cinta akan keluarga, harta, dan hal-hal yang bersifat materi dan duniawi.

Dalam pengembaraan hidup manusia di permukaan bumi ini, mereka terkadang mencari kebahagiaan dan kenikmatan menurut pendapat dan caranya masing-masing. Ada yang beranggapan sentrum kebahagiaan terdapat pada materi yang melimpah ruah, maka berusahalah ia menumpuk harta sebanyak-banyaknya.

Ada yang menganggap kebahagiaaan berpusat pada kekuasaan, maka berjuanglah ia memperoleh kekuasaan yang diinginkannya. Kemudian ada pula yang berpikiran pusat kenikmatan itu pada cinta kasih dua sejoli yang memadu janji, maka berusahalah ia mencari kepuasannya. Tetapi ada pula yang memilih jalan yang lain, kebahagiaan hakiki tidak pada materi, tidak pada pangkat dan juga tidak pada kenikmatan cinta buta yang taat pada syahwat dan birahi, melainkan pada kekayaan rohaniah, dengan memilih jalan Allah, jalan iman dan taqwa yang diajarkan-Nya dalam kitab-Nya, dengan pengertian memfokuskan seluruh rasa cinta pada Allah, Rab seru sekalian alam.

Cinta menurut Ibnu Qayyim, mengharuskan seseorang yang sedang terpanah olehnya untuk mengkhususkan cintanya kepada yang ia cintai. Juga hendaknya ia tidak menyekutukan cintanya terhadap kekasihnya terhadap yang lain. Kata Ibnu Qayyim, "Seseorang tidak membagi-bagi cintanya secara adil." Prinsip ketunggalan cinta ini diterapkan oleh Ibnu Qayyim, hanya kecintaan kepada Allah semata. Ucapannya mengenai hal ini, "Dalam kalbu seseorang tidak mungkin terdapat dua cinta. Demikian halnya di langit pun tidak terdapat dua Tuhan."

Ketunggalan cinta atau mahabbatullah, bukanlah sembarang cinta, melainkan cinta yang menempati kedudukan yang tertinggi di atas segala cinta. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatawa bagian Ilmu Suluk, mahabbatullah adalah sebesar-besar kewajiban iman, sebesar-besar pokok dan setinggi- tinggi azas. Bahkan ia merupakan pokok dari segala amal dari amal-amal iman dan keagamaan, seperti halnya pengakuan akan keesaan Allah adalah pokok dari segala perkataan yang berkaitan dengan iman dan agama. Justru setiap gerakan pada wujudnya adalah memancar dari mahabbah kepada-Nya. Pada pokoknya seluruh amal-amal iman tidaklah terbit selain dari mahabbah yang terpuji, yaitu mahabatullah, cinta pada Allah. Dan ini merupakan ciri yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman (Q.S. Al Baqarah : 165)

Karenanya wajar jika orang beriman mempunyai prinsip "Sami’na wa atha’na" dalam menghayati cintanya pada Allah. Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mencintai apa yang dicintai Allah dan benci terhadap apa yang dibenci Allah, yang kesemuanya itu disalurkan dengan jalan mengikuti petunjuk yang telah dicontohkan pesuruh-Nya, Rasulullah saw. Firman Allah Swt :

"Katakanlah : Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah) niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS Ali Imran : 31]

Dan sebagai bukti kongkret penghayatan dari mahabbah adalah rela berkorban dan berjihad di jalan Allah, karena itu adalah perbuatan yang dicintai Allah (Ash Shaff : 4).

Orang yang cinta dan dicintai Allah akan berjihad di jalan-Nya tanpa takut celaan dan cemoohan manusia. Itulah salah satu puncak mahabbah. Hingga seorang pecinta yang setia dan patuh, akan berjihad dan berkorban dengan semua yang dimilikinya untuk mencapai kasih yang ia cintai, yakni Allah Swt. Yang pada akhirnya nanti Allah akan melindunginya. Sebagaimana yang dinyatakan Nabiullah saw. dalam hadits Qudsi, Allah berfirman :

"Siapa yang memusuhi seorang kekasih-Ku, maka sungguh aku menyatakan perang kepadanya. Dan tiada mendekat kepada-Ku seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih aku sukai daripada menjalankan apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan selalu hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan menambah amal-amal yang sunnah, sehingga Aku kasih padanya, maka apabila Aku telah kasih kepadanya, Aku sebagai pendengar yang ia mendengar dengannya, dan penglihatan yang ia melihat dengannya, dan tangan yang digerakkannya, dan kaki yang ia berjalan dengannya. Dan bila ia meminta pasti Aku memberinya, dan bila ia memohon perlindungan pasti Aku melindunginya." [H.R. Bukhari]

Seorang pecinta seperti terungkap dalam hadits di atas, akan selalu ridha terhadap keputusan dan kehendak Allah. Karena kala itu keimanan dan ketauhidan telah terhunjam kuat dan berdekap mesra dalam kalbunya. Inilah yang terdapat dan terjadi pada diri para sahabat, ulama salaf, dan para tabi’in. Tekad, pengorbanan, dan perjuangan mereka sangat luar biasa karena dilandasi oleh pemahaman yang tinggi dan murni tentang kecintaan pada Allah.

Lain halnya dengan tekad kita saat ini. Tekad yang membulat mencintai sistem budaya Barat, dengan memuseumkan syariat Islam. Hingga tidak mengherankan, jika jumlah kita yang 100% hanya bentuk yang mengambang sifatnya. Artinya kalau kita berpatokan secara kuantitatif kita memang besar, tetapi bila kita berpatokan secara kualitatif, ummat Islam itu seluruhnya hanya berkisar 10%. Kalau kita lihat dari yang mulai mampu membaca Qur’an, berapa orang? Kemudian yang mampu menerjemahkan, berapa orang? Dan terutama yang mampu mengamalkannya, berapa orang? Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi harus pula diamalkan dalam kondisi apapun. Antara kita dengan sahabat-sahabat Rasulullah terdapat kondisi yang sama, Allah yang kita yakini sama, Nabi dan kitab yang diyakinipun sama, tetapi mengapa hasil yang kita peroleh jauh berbeda? Berikut ini ada beberapa faktor penyebab keadaan kita seperti sekarang ini :

  1. Jauhnya Ummat Islam dari Al Qur’an dan Sunnah

Al Qur’an tidak menjadi ‘ruh’ dalam hidup kita, padahal seharusnya Qur’an itu senantiasa ditadabburkan untuk kemudian diamalkan. Pada ‘Muktamar’ Misionaris V, Zummer mengatakan, "Kerja hari ini bukan mengkristenkan ummat Islam, tetapi jauhkan mereka dari Qur’an dan sunnah, jadikan mereka tidak bangga dengan Nabi Muhammad. Dan jauhkan mereka dari sejarah Islam, jadikan mereka malu mengakui ke-Islamannya, buatlah mereka jauh dari ulama-ulama mereka."

Mari kita tengok keadaan tubuh ummat kita saat ini, adakah hasil ‘wasiat’ Zummer di kalangan generasi kita dan anak-anak Islam? Di samping itu yang membuat ummat ini jauh dari Qur’an ialah perlakuan kita terhadap Qur’an itu sendiri, di antaranya :

  1. Mencampur adukkan antara yang hak dan yang batil (Al Baqarah : 42).
  2. Iman kepada sebagian ayat dan ingkar kepada sebagian yang lain (Al Baqarah : 85).
  3. Menjadikan Qur’an sesuatu yang diacuhkan (Al Furqan : 30).
  4. Sebagai sarana hiburan (Yaa Siin : 69)
  5. Memperolok ayat dan kandungan Qur’an (Al Kahfi : 106)

Begitu pula halnya keberadaan sunnah. Fungsi Rasulullah adalah menjembatani antara ummat dengan Allah, manusia pilihan ini wajib dijadikan cermin bagi ummat Islam. Tetapi apa yang kita lihat pada tubuh ummat ini? Ternyata Beliau tidak dijadikan teladan universal.

Pergeseran keteladanan ini akibat dominasi Barat yang senantiasa dilancarkan ke dalam tubuh ummat Islam, sehingga kita malu untuk ‘berbaju’ sunnah Rasul. Cara kita makan, sampai cara berpakaian. Cara kita menikah melalui proses pacaran. Cara kita menyandang nama sampai memilih pendidikan. Cara orang-orang tua kita memandang ibadah hanya di masjid saja, sampai cara kita dan adik-adik kecil kita menjagokan artis dan aktor dalam pola kehidupan (Astaghfirullah, penulis termasuk di dalamnya). Dan pada akhirnya terbukti juga apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Abduh, "Al Islam Mahjubun bil Muslimin."(Islam itu tertutupi oleh orang-orang Islam sendiri), karena ummat Islam kurang sungguh-sungguh mencintai Rasul. Karena bila Beliau salah satu cinta kita, berarti kita senantiasa dan selalu berpegang teguh kepada perintahnya, mengikuti jejaknya dan menjauhi larangannya. Kasih dengan hati, mengikuti sunnah dengan sebaik-baiknya dan menjauhi larangan-larangannya, itulah sebagai bukti cinta pada Rasulullah saw. (baca QS Al Hasyr : 7).

  1. Rasa Rendah Diri
  2. Kurang mampunya kita menerjemahkan konsep Islam dalam kehidupan, sehingga apabila ditanyakan apakah Islam itu, banyak di antara kita tidak mampu menjawab. Karena cara kita memandang Islam hanya sebagai ritual yang rutinitas saja, yang kering tanpa ‘ruh’, hanya dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji belaka. Aspek-aspek lain kita anggap tidak berkaitan dengan Islam. Padahal Islam yang menyeluruh, tidak ada pemisahan, seluruh aspek kegiatan hidup ini akan bernilai ibadah selama itu dikerjakan dengan niat semata-semata karena kecintaan kepada Allah. Dan banyak di kalangan kita merasa minder dan asing dengan ajaran Islam, merasa malu tampil dengan syariat Islam, sehingga prinsip "Isyhadu bi anna muslimin" (saksikanlah saya ini orang Islam) belum mampu untuk kita sandang.

  3. Taqlid

Kecenderungan taqlid buta, yakni mengikuti segala sesuatu tanpa pemahaman. Karena tidak memahami Islam yang benar, maka ketika muncul pemasok-pemasok nilai yang bukan dari Islam, maka bagai menco (beo) kita mau saja mengambil nilai-nilai tersebut. Ketidak mau tahuan kita akan syariat agama ini, akhirnya melahirkan ‘budaya meniru’ (pakaian, mode rambut, pergaulan, perayaan valentine day, dan semua acara non Islam). Padahal Allah telah memberi peringatan mengenai hal ini, silakan pahami Al Isra : 36.

Ringkasnya, siapapun yang keberatan dengan hukum dan undang-undang Allah, berarti ia tak mempunyai keimanan sebagai sumber kecintaan kepada Allah. Semakin kuat imannya, semakin erat pula cintanya kepada Allah. Karena seorang mukmin sejati ialah orang yang telah mencapai ketinggian dan kebesaran Ilahi, merasakan keberadaan dan kebaikan-Nya. Ia tahu dengan penuh kesadaran, Allah menganugerahkan nikmat yang tak ternilai jumlahnya. Pengetahuan atas hal itu membekas dalam jiwanya, yang akhirnya membukakan kecintaannya kepada Allah. Hatinya senantiasa rindu kepada Allah, segenap perbuatannya dihadapkan sebagai suatu kelezatan hidup. Yang demikian itu menumbuhkan sikap ridha, pandangan yang terang dan cerah, serta hati yang tentram. Hingga baginya tiadalah sesuatu kemenangan yang paling besar, melainkan menaati Allah dan Rasul-Nya sepenuh jiwa raganya (Al Ahzab : 71).

*****

Semoga tulisan di atas ada manfaatnya bagi kita, dan makin bertambah pula ilmu dan keimanan di dalam akal dan kalbu kita. Yang perlu ditekankan adalah bila kita ingin mencintai sesuatu (harta, ilmu, pria/wanita idaman, keluarga, diri kita, dll) maka kita harus pula menyukai dan mencintai pemiliknya. Apabila kita ingin dicintai (sesuatu) kita pun harus mencintai pemilik sesuatu tersebut dan penguasa cinta. Semoga kita dapat menjadikan tulisan ini sebagai bahan renungan.

Abdullah Lennono

7-9 Feb 2000


hewan hidup di dua alamSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Melanjutkan pembahasan hewan air, saat ini kita akan meninjau kelanjutannya yaitu mengenai hewan yang hidup di dua alam seperti buaya, katak, dan kura-kura. Bagaimanakah hukum untuk hewan-hewan ini, halal ataukah haram? Simak dalam tulisan berikut ini.

Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam

Yang kami ketahui tidak ada dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih dan tegas yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: "Hukum asal segala sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

Perselisihan Ulama

Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.

Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.

Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.

Ulama Hambali: Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah.

Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.[1]

Haramnya Katak

Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.

Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Al Khottobi rahimahullah mengatakan, “Dalil ini menunjukkan bahwa katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk hewan yang tidak masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”[2]

Bolehkah berobat dengan katak?

Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Jika seseorang ingin berobat dengan katak tentu saja ia perlu membunuhnya. Jika diharamkan untuk membunuh, maka tentu saja dilarang pula untuk berobat dengannya. Katak itu terlarang, boleh jadi karena ia najis atau boleh jadi karena ia adalah hewan yang kotor.”[3]

Apakah Buaya Halal Dimakan?

Mayoritas ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan. Imam Ahmad rahimahullah memiliki pendapat,

يُؤْكَلُ كُلُّ مَا فِي الْبَحْرِ إِلَّا الضُّفْدَعَ وَالتِّمْسَاحَ

“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”[4]

Jika kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air itu menjadi haram jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka jadinya buaya pun bisa diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa buaya adalah binatang bertaring dan ia memangsa buruannya dengan taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk dalam pelarangan hewan bertaring sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Namun qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas kuranglah tepat. Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan,

“Adapun para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan hewan air dengan hewan darat yang diharamkan, maka ini tidaklah tepat. Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas) yaitu firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).”[5]

Kami lebih tentram memilih pendapat yang mengatakan bahwa buaya itu halal dimakan karena tidak ada dalil tegas yang mengharamkannya sehingga kita kembalikan ke hukum asal, segala sesuatu itu halal. Jika kami menyatakan halal, bukan berarti wajib atau sunnah untuk dimakan, cuma boleh saja. Jika jijik atau tidak suka, yah silakan. Yang kami bahas adalah masalah hukumnya.

Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan Landak Laut

Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)

Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?

Jawaban:

Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).

Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang menyatakannya haram.

Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).

Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729)

Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih agar keluar dari perselisihan para ulama.

Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan sebagaimana ikan karena keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).

Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas), sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.

[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota] [6]

Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin

Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh rahimahullah mengatakan, “Seluruh hewan air itu halal bahkan untuk orang yang sedang ihrom. Orang yang sedang ihrom boleh baginya berburu di laut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al Maidah: 96)

Yang dimaksud “shoidul bahr” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditemukan dalam keadaan sudah mati. Ayat tersebut menerangkan (yang artinya), “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup)”. Secara tekstual (zhohir ayat), tidak ada yang mengalami pengecualian dalam ayat tersebut. Karena “shoid” dalam ayat tersebut adalah mufrod mudhof. Sedangkan berdasarkan kaedah mufrod mudhof menunjukkan umum (artinya: seluruh tangkapan hewan air adalah halal, pen), sebagaimana pula dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menunjukkan atas seluruh nikmat.

Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan tadi tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 129, side A[7]]

Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa hukum makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di darat dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B[8]]

Beliau juga ditanya dalam kajian Nur ‘ala Ad Darb, “Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah penjelasan pada kami. Barakallahu fiikum.”

Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul bahr” maknanya adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup. Sedangkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditangkap dalam keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal karena buaya termasuk hewan yang bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan hewan yang bertaring baik itu hewan buas. Sedangkan hewan darat piaraan (jinak) yang bertaring pun diharamkan. Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah ayat 69 menunjukkan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 137, side A]

Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang dimaksud larangan dalam hadits adalah untuk hewan darat yang bertaring. Sedangkan hewan buas yang hidup di air, maka ia memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu, dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan hiu juga memiliki taring yang digunakan untuk memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)[9]

Ulama saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang telah lewat.[10]

Ringkasan: Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya, kura-kura dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah karena mereka menganggap setiap hewan air itu halal.[11]

Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura itu haram karena dianggap jijik (khobits), maka ini perlu ditinjau. Karena khobits (jijik) itu bukanlah dalil tegas akan haramnya sesuatu. Adapun, katak ada dalil tegas yang menunjukkan akan haramnya karena ia termasuk hewan yang tidak boleh dibunuh.

Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi halal?

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya adalah burung air, kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad pernah ditanya,

السَّرَطَانُ لَا بَأْسَ بِهِ .قِيلَ لَهُ : يُذْبَحُ ؟ قَالَ : لَا

“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”

Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya tidak butuh untuk disembelih.”[12]

Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia mati, tetap membuatnya halal.[13]

Kesimpulan Mengenai Hewan Air

Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:

Pertama: Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan darat) adalah halal.

Kedua: Katak itu haram karena ada dalil yang melarang membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh dimakan.

Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.

Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk dalam keumuman ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96). Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharamkannya.

Kelima: Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut) seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti kepiting.

Keenam: Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195)

Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi. Wallahu a’lam bish showab.

Selesai sudah pembahasan kami seputar hewan air. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Artikel www.rumaysho.com

Muhammad Abduh Tuasikal

Diselesaikan di Panggang-GK, 11 Jumadits Tsani 1431 H, 24/05/2010




Selasa, 04 Mei 2010

cara plug in pada chatroll

1.buka chatroll.com

chat1

2. Kemudian isi nama dan url tempat anda akan mengakses chatroll tersebut, kemudian pilih next

chat2

3. Lalu pilih siapa saja yang bisa mengirimkan pesan pada chatroll anda, siapa saja atau hanya yang terdaftar saja, kemudian pilih next

chat3

4. Kemudian buat sebuah akun chatroll kemudian pilih I accept. Create my account.

chat4

5. Anda akan diminta untuk upgrade pilih skip upgrade saja.

chat5

6. Pilih Embed, lalu atur tampilan chatroll anda dan letakkan kode html tersebut pada blog anda

chat6

chat1

2. Kemudian isi nama dan url tempat anda akan mengakses chatroll tersebut, kemudian pilih next

chat2

3. Lalu pilih siapa saja yang bisa mengirimkan pesan pada chatroll anda, siapa saja atau hanya yang terdaftar saja, kemudian pilih next

chat3

4. Kemudian buat sebuah akun chatroll kemudian pilih I accept. Create my account.

chat4

5. Anda akan diminta untuk upgrade pilih skip upgrade saja.

chat5

6. Pilih Embed, lalu atur tampilan chatroll anda dan letakkan kode html tersebut pada blog anda

chat6